Pengertian Dakwah Fardiyah
Dakwah fardiyah-sebagai antonim dari dakwah jama’iyah atau ‘ammah-ialah ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang da’I (penyeru) kepada orang lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’u pada keadaan yang lebih baik dan diridhai oleh Allah.
Perubahan dan perpindahan tersebut adakalanya dari kekafiran kepada keimanan, dari kesesatan dan kemaksiatan kepada petunjuk dan ketaatan, dari sikap amaniyah (individualisme) kepada sikap mencintai orang lain, mencintai amal jama’I atau kerja sama, dan senang kepada jamaah. Atau adakalanya memindahkannya dari sikap acuh tak acuh dan tidak peduli menjadi sikap komitmen terhadap islam, baik akhlaknya, adabnya, dan manhaj (system) kehidupannya, yang sudah tentu perpindahan ini menuju arah yang lebih baik dan lebih diridhoi Allah SWT.[1]
Menurut hemat penulis dakwah fardiyah inilah salah satu metode dakwah yang paling efektif, karena dakwah dilakukan seorang da’I (penyeru) kepada orang lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’u pada keadaan yang lebih baik dan diridhai oleh Allah. Sehingga seorang mad’u dapat memperoleh informasi (ilmu) yang banyak dan langsung bisa mengamalkannya.
2. Keistimewaan dan Tanda-tanda Dakwah Fardiyah
a. Juru dakwah dalam dakwah fardiyah memiliki kelebihan khusus, ia harus mempunyai skill tersendiri yang memungkinkannya untuk mendidik orang lain, sesuai metode tarbiyah yang telah kita kenal: pengerahan, perencanaan, konsolidasi, penugasan, pemantapan, dan pewarisan. Seorang juru dakwah tidak akan mampu melakukan semua ini kecuali jika dia memiliki keahlian dan kelebihan dalam lapangan amaliah islami pada umumnya dan dalam lapangan dakwah pada khususnya.
b. Tugas yang dijalankan dalam dakwah fardiyah haruslah semata-mata mencari ridho Allah. Ia tidak perlu menunggu atau mengharap keuntungan material maupun spiritual dari seseorang. Ia pun tidak mengharapkan imbalan baik dari perorangan, jamaah, lembaga, atau pemerintah.
c. Dalam dakwah fardiyah, da’I adalah “orang dakwah” dengan segala makna dan penjabarannya, diantaranya:
1) Dia adalah orang yang mengerti fase-fase dakwah, mengetahui karakteristik tiap-tiap fase dengan segala tuntutannya, mengetahui sasaran dan tujuan dakwah yang hendak dicapainya, serta waktu yang sesuai dengannya.
2) Dia adalah orang yang mengetahui sasaran dakeah dan tujuan dakwah baik fardiyah maupun jama’iyah.
3) Dia adalah orang yang mengetahui kendala dan hambatan-hambatan di jalan dakwah serta memiliki kemampuan untuk melewati semua penghalang demi kelancaran dakwahnya.
4) Dia adalah orang yang mengetahui keadaan para penerima dakwah dengan berbagai tingkatan dan sifat-sifat yang mereka miliki, serta mengetahui metode dan sarana yang sesuai untuk mereka.
5) Dia adalah orang yang mengetahui kewajiban-kewajiban dirinya terhadap penerima dakwah dalam semua situasi dan tahapan yang dilaluinya.
d. Bahwa almad’u dalam dakwah fardiyah adalah orang tertentu yang telah dipilih oleh da’I berdasarkan pengetahuan dan pengamatannya karena orang tersebut mempunyai tanda-tanda kebaikan, mau menerima dakwah, mencintai peraturan, dan patuh melaksanakan kebaikan serta kemampuannya.
e. Al mad’u dalam dakwah fardiyah selalu ditemani dan didekati. Dalam hal ini seorang da’I berusaha menjalin hubungan yang kuat yang melahirkan rasa persaudaraan semata-mata karena Allah.
f. Juru dakwah dalam dakwah fardiyah dituntut untuk senantiasa melayani kepentingan al mad’u tanpa menunggu permintaannya.[2]
3. Tujuan Dakwah Fardiyah
Tujuan umum dakwah fardiyah ialah menumbuhkan dan mengembangkan amal islami dan memperbaiki pelaksanaannya serta menjadikan para pelakunya mampu memikul beban yang berat untuk mencari ilmu pengetahuan serta membiasakan dan melaksanakan amal ini dalam lapangan yang berbeda-beda dan di wilayah islam manapun.
Adapun tujuan dakwak secara terperinci ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tujuan dakwah fardiyah bagi penerima dakwah, tujuan dakwah fardiyah bagi dakwah, dan tujuan dakwah bagi da’i.
a) Tujuan dakwah fardiyah bagi penerima dakwah diantaranya adalah:
1) Menanamkan pemahaman tentang urusan ad din
2) Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan ruh (jiwa), akal, dan jasmani al mad’u.
3) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan amal sholeh.
4) Mendorong al mad’u agar gemar melakukan amal jama’I, menaati peraturan, dan memenuhi tugas.
5) Menguatkan al mad’u dan keluarganya terhadap islam, serta membantunya untuk menikah jika ia belum menikah.
6) Berusaha menjadikan al mad’u sebagai da’i.
b) Tujuan dakwah fardiyah bagi dakwah, diantaranya adalah:
1) Memperdalam pemahaman dakwah Ilallah.
2) Memantapkan dalam jiwa, akal, dan kehidupan manusia.
3) Memperkokoh potensi dakwah dalam berbagai sector.
4) Memperkokoh gerakan dan kemampuan dakwah agar menarik dan memikat.
5) Membuat fondasi dakwah yang kokoh.
6) Pembinaan individu yang memiliki ilmu-ilmu khusus.
7) Membentuk pribadi yang soleh untuk mengisi kekosongan dalam amal islami umumnya dan dalam aktivitas dakwah khususnya.
c) Tujuan dakwah fardiyah bagi da’I, diantaranya adalah:
1) Membekali da’I dengan ilmu pengetahuan.
2) Meningkatkan ketrampilan dan kepandaian da’i.
3) Menaggulangi berbagai ujian.
4) Memperbanyak kesempatan amal bagi da’i.
5) Pergaulan da;I dan mad;u akan menumbuhkan perasaan dan semangat untuk melakukan amalan baik dan terprogram.
6) Memberikan kesempatan kepada da’I untuk melakukan pewarisan dan pelatihan.
7) Memberikan kesempatan kepada da’I untuk melakukan amalan yang paling menguntungkan dan memberikan harapan dari sisi Allah.[3]
4. Sarana Dakwah Fardiyah
Adapun sarana dakwah fardiyah banyak macamnya yang dapat digunakan secara bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Da’i terhadap Individu mad’unya. Dalam bentuk tatap muka misalnya (Liqo’), seorang da’i dakwah fardiyah bisa memanfaatkan pertemuan dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadits atau sirah, pertemuan tersebut sedapat mungkin dicarikan waktu dan tempatnya yang cocok, bisa juga memanfaatkan pertemuan di Halaqah (ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke Rumah makan, dalam bentuk yang lebih sederhana sarana Dakwah fardiyah bisa dengan menghadiahkan sebuah buku yang bermuatan fikrah Islam, sehingga pada pertemuan berikutnya bisa didiskusikan hasil dari bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebagian dari sarana-sarana dakwah fardiyah. Adapun selebihnya seorang da’i dengan kecerdasannya dapat mengeksplorasi dan mengembangkan sarana-sarana lainnya lebih banyak lagi.[4]
Dakwah fardiyah bila dijalankan dengan baik dan sungguh-sungguh maka ia akan menjadi sarana yang paling efektif, paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitasnya terhadap individu mad’u, keistimewaan Dakwah fardiyah terletak pada fokus perhatian yang lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar pula tingkat keberhasilan mengajak orang ke jalan dakwah.
5. Langkah-Langkah Dakwah Fardiyah
Dalam menjalankan dakwah fardiyah seorang da’I juga harus mengetahui langkah-langkah yang harus ia lakukan, agar dakwahnya berhasil. Adapun diantara langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Langkah Pertama : Berupaya untuk membina hubungan dan mengenal setiap orang yang hendak didakwahi dan membangunnya dengan baik. Upaya ini untuk menarik simpati darinya agar hatinya lebih terbuka dan siap menerima perbincangan yang dapat diambil manfaat sehingga pembicaraan berikutnya dapat berlangsung terus. Pembinaan hubungan dengannya dilakukan secara intens sehingga obyek dakwah mengenal orang yang mengajaknya sebagai orang yang enak untuk berteman dan berkomunikasi.
Langkah Kedua : Membangkitkan iman yang mengendap dalam jiwa. Pembicaraan hendaklah tidak langsung diarahkan pada masalah iman, namun sebaiknya berjalan secara tabi’i, seolah-olah tidak disengaja dengan memanfaatkan moment tertentu untuk memulai mengajaknya berbicara tentang persoalan keimanan. Melalui pembicaraan yang tabi’i persoalan yang dipaparkan akan mudah mendapatkan sambutan. Dari sambutan yang disampaikannya mengenai beberapa hal dapat ditindak lanjuti dengan meningkatkan gairah keimanannya. Gairah keimanan yang timbul darinya akan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Dari situlah muncul perhatian yang besar terhadap masalah-masalah keislaman dan keimanan.
Langkah Ketiga : Membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan mengenalkan perkara-perkara yang bernuansa ketaatan kepada Allah dan bentuk-bentuk ibadah yang diwajibkan. Pada tahap ini perlu pula dibekali dengan bahanbahan bacaan dari referensi yang sederhana, seperti Dasar-dasar Islam, Prinsip-prinsip Islam (Abul ‘Alaa Al Maududi) dan lain-lainnya. Di samping bekalan bahan-bahan bacaan juga perlu diperkenalkan dengan lingkungan yang baik dan komunitas masyarakat yang shalih agar dapat menjaga nilai-nilai yang telah tertanam dan meneladani kehidupan orang shalih. Mutabaah dan pemantauan dalam tahap ini memerlukan kesabaran yang tinggi sehingga dapat membimbing perjalanannya di atas jalan dakwah dan terhindar dari faktor-faktor yang buruk.
Langkah Keempat : Menjelaskan tentang pengertian ibadah secara syamil agar memiliki kepahaman yang shahih tentang ibadah disertai niat yang benar dan berdasarkan syara’. Pemahaman yang tidak sempit terhadap ibadah. Ibadah bukan sebatas rukun Islam yang empat saja (shalat, puasa zakat dan haji). Akan tetapi pengertian ibadah yang luas sehingga memahami bahwa setiap ketundukan seorang hamba pada-Nya dengan mengikuti aturan yang telah digariskan akan bernilai ibadah.
Langkah Kelima : Menjelaskan kepada obyek dakwah bahwa keberagamaan kita tidak cukup hanya dengan keislaman diri kita sendiri. Hanya sebagai seorang muslim yang taat menjalankan kewajiban ritual, berperilaku baik dan tidak menyakiti orang lain lalu selain itu tidak ada lagi. Melainkan keberadaan kita mesti mengikatkan diri dengan keberadaan muslim lainnya dengan berbagai macam problematikanya. Pada tahap ini pembicaraan diarahkan untuk menyadarkan bahwa persoalan Islam bukan urusan perorangan melainkan urusan tanggung jawab setiap muslim terhadap agamanya. Perbincangan ini dilakukan agar mampu mendorongnya untuk berpikir secara serius tentang bagaimana caranya menunaikan tanggung jawab itu serta menjalankan segala tuntutan-tuntutannya.[5]
Langkah Keenam : Menjelaskan kewajiban untuk mengemban amanah umat dan permasalahannya. Kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara individu. Masing-masing orang secara terpisah tidak akan mampu menegakkannya. Maka perlu sebuah jamaah yang memadukan potensi semua individu untuk memperkuat tugas memikul kewajiban berat tersebut. Dari tahap ini obyek dakwah disadarkan tentang pentingnya amal jama’i dalam menyelesaikan tugas besar ini.
Langkah Ketujuh : Menyadarkan padanya tentang kepentingan sebuah jamaah. Pembicaraan ini memang krusial dan rumit sehingga memerlukan hikmah dan kekuatan argumentasi yang meyakinkan. Oleh karena itu harus dijelaskan padanya bahwa bergabung dengan sebuah jamaah harus meneliti perjalanan jamaah tersebut. Jangan sampai terburuburu untuk menentukan pilihan terhadap sebuah jamaah yang akan dijadikannya sebagai wahana merealisasikan dasardasar
0 komentar:
Posting Komentar